Menelisik Kesenian Tembang Cianjuran, jadi Salah satu penopang sejarah berdirinya Cianjur. Dengan segala keramahannya Kota Cianjur yang juga terkenal dengan Kota Santri tidak lepas jg dari kesenian khas Kota Tauco tersebut. Sampai Saat ini, Tembang Cianjuran kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukkan kesenian pada acara-acara penyambutan tamu bagi masyarakat Sunda, seperti pernikahan ataupun khitanan. Alunan suara sekar (sinden) yang merdu diiringan instrumen kecapi dan suling membuat suasana lebih anggun, santun, khidmat dan penuh dengan ramah-tamah. Sehigga para tamu yang datang pasti akan hanyut terbawa suasana yang ada. Jika dikatakan Tembang Cianjuran adalah musik sunda yang memiliki warna musik begitu mempesona, anggun, lembut dan halus. Hal tersebut memang sangat erat hubungannya dengan cikal bakal dan perkembangan Tembang Cianjuran.
Seni Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta rasa dan karsa Bupati Cianjur IX,
R. Aria Adipati Kusumaningrat (1834-1861), atau lebih sering dikenal dengan
sebutan “Dalem Pancaniti”. Namun dalam penyempurnaannya hasil ciptaannya
tersebut, dalem Pancaniti dibantu oleh seniman kabupaten yaitu: Rd.
Natawiredja, Aem dan Maing Buleng. Ketiga orang inilah yang kemudian mendapat
izin Dalem Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu Cianjuran.
Pada zaman pemerintahan R.A.A Prawiradiredja II (1861-1910), seni Tembang
Cianjuran disempurnakan lagi aturannya. Dengan ditambah iringan suara kecapi
dan suling, maka lahirlah Tembang Cianjuran yang dikenal sampai saat ini.
Tembang Cianjuran pada awalnya merupakan musik yang penuh prestise para
bangsawan. Oleh sebab itu, kehadiran Tembang Cianjuran pada awalnya
diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Dan karena itu
juga tempat pertunjukkannya selalu berada pada pendopo-pendopo kabupaten.
Biasanya untuk acara-acara resmi penyambutan tamu bupati atau upacara-upacara
resmi hari besar nasional.
Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya seiring dengan berbagai perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Tembang Cianjuran telah menjadi begitu akrab
dimasyarakat. Tembang Cianjuran yang tadinya hanya dapat dinikmati oleh kaum
bangsawan, berkembang menjadi musik yang berakar pada tradisi kerakyatan. Kini,
Tembang Cianjuran sangat mudah ditemui dalam acara pesta-pesta perkawinan
masyarakat cianjur (Sunda).
Penikmat Tembang Cianjuran memang tidak sebanyak jenis kesenian lain, seperti
musik pop. Tetapi peminat dan penikmat Tembang Cianjuran cukup signifikan.
Beberapa seniman seniman Tembang Cianjuran mengembangkan yang tidak terbatas
lagi pada Kacapi Suling Tembang Cianjuran tetapi juga Kacapi Suling Pop
Cianjuran.
Meski ditelan badai modernasi Tembang Cianjuran termasuk jenis kesenian yang
masih mendapat respon positif dari masyarakat global, kehadirannya diterima
baik oleh semua pihak. Baik masyarakat lokal maupun internasional ikut serta
melestarikan warisan budaya sunda ini. Buktinya, sampai saat ini masih banyak
dijumpai para mahasiswa asing yang serius mempelajari kesenian Tembang Cianjuran.
Beberapa diantaranya adalah mahasiswa berasal Amerika Serikat, Norwegia,
Eropa, Jepang, dan negara Asia lainnya.
Mempelajari Seni Sunda Tembang Cianjuran tidaklah terlalu sulit, walupun tidak
semudah mempelajari Seni Sunda Angklung misalnya. Tingkat kesulitan mempelajari
Tembang Cianjuran bergantung pada grade atau level saat mereka mencoba
memainkan alat musik tersebut. Seorang pemula yang belum pernah sama sekali
memainkan alat musik tembang kecapi suling cianjuran kira-kira akan memakan
waktu 3-6 bulan untuk memainkan jenis musik yang diinginkan.
Rasanya kurang pas jika seseorang hanya mempelajari bagaimana memainkan
instrumen-instrumen dan olah vokal Tembang Cianjuran saja. Sebab seni ini
memiliki kekayaan budaya yang tersimpan. Salah satunya adalah kandungan arti
yang tersimpan di balik syair-syairnya. Dalam setiap syair-syairnya sang
penikmat dapat menemukan sebuah vocal wisdom (kearifan vokal) berupa alam yang
harmoni, keseimbangan, rendah hati, kasih sayang, kebijakan dll. Peminat
Tembang Cianjuran dituntut untuk mengungkap pesan-pesan yang tersimpan dalam
isi syairnya. Tembang Cianjuran kini menjadi pembeda di tengah hingar-bingar
budaya pop yang semakin mengglobal.
Tembang Cianjuran sangat kental dengan identitas kesundaannya. Akan sangat
disayangkan bila para generasi muda mulai meninggalkan kesenian ini. Di tengah
krisis kehilangan identitas bangsa ini, ada sebuah pertanyaan yang patut di
kemukakan: Jika orang asing dengan serius mempelajari Tembang Sunda Cianjuran,
masih adakah alasan bagi generasi muda untuk meninggalkannya?.
Tembang Cianjuran
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Di tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos.
Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962
ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos
merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik,
suling, dan atau rebab.
Sejarah
Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat
(1834—1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah
bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama
Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada
perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal
ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah,
Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk
(mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos
yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau
disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau.
Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya
menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya
menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua
teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun
banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni
Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu
pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun
mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864—1910) kesenian
mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853—1928)
adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering
diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di
antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA.
Wiranatakoesoemah (1920—1931 & 1935—1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah
lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di
luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama
tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari
Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan
kesenian ini menyebutnya dengan tembang Cianjuran.
Pertunjukan
Sebenarnya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan
pupuh (tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca,
yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan
yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian
rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog
(nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat
lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan,
jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis
kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis
tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan
Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu
Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri
Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam
wanda jejemplangan di antaranya terdiri dari Jemplang Panganten, Jemplang,
Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb. Wanda
dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung,
Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan sebagainya. Wanda
rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar
Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan
Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan
sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog,
Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak
Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan,
Selabintana, Soropongan, dsb.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara
kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula,
juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya
seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan
perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.
Menelisik Kesenian Tembang Cianjuran, jangan sampai Kesenian Tembang Cianjur lenyap karna tergerus zaman. Sebagai generasi muda mempunyai kewajiban untuk melestarikan Budaya Kesenian Tembang Cianjuran. Jadikan Kesenian Tembang Cianjuran menjadi salah satu identitas dan ciri khas Kota Cianjur.
1 Komentar
artikelnya bagusssss
Balasizin copas